RADARBUMIGORA. Com– Harga tembakau di Pulau Lombok anjlok tajam di awal musim panen tahun ini. Kondisi ini membuat banyak petani terpuruk dan menangis, karena biaya produksi yang telah mereka keluarkan tidak sebanding dengan hasil yang didapat.
Wakil Ketua DPD II KNPI Lombok Timur, Muhrim Rajasa, angkat bicara terkait krisis ini. Ia menilai, pemerintah pusat maupun daerah khususnya Presiden Prabowo Subianto dan Gubernur NTB Lalu Muhammad Iqbal terlihat lemah dalam merespons nasib para petani tembakau di Lombok.
"2025 ini menjadi tahun yang sangat menyakitkan bagi petani tembakau. Harga anjlok, dan lebih parahnya, hampir semua perusahaan tidak mau membeli daun tembakau yang berwarna coklat. Padahal dulu, daun sepohon dibeli semua,” ungkap Muhrim, Minggu, (24/8).
Menurutnya, lemahnya perhatian pemerintah menyebabkan kondisi ekonomi masyarakat desa, khususnya petani tembakau, makin terpuruk. Ia menekankan bahwa daun tembakau tidak hanya soal pertanian, tetapi juga berdampak langsung pada keberlanjutan pendidikan anak-anak petani dan kesejahteraan sosial mereka.
“Kalau harga bagus, masyarakat bisa menyekolahkan anaknya hingga kuliah, bahkan bisa berangkat umroh. Tapi sekarang, jangankan umroh, banyak anak-anak petani terancam putus kuliah. Ini harus menjadi perhatian serius dari Presiden Prabowo dan Gubernur Mamik Iqbal,” tegasnya.
Muhrim juga mendesak agar pemerintah menekan perusahaan-perusahaan tembakau agar tidak semena-mena terhadap petani. Ia menyebut, pemimpin sejati harus berani bersikap tegas, termasuk menutup perusahaan yang tidak berpihak pada petani.
Dipaparkan lebih jauh, bahwa ada empat poin penting yang seharusnya menjadi dasar izin beroperasinya perusahaan tembakau. Jika perusahaan tidak memenuhi poin-poin ini, menurutnya, pemerintah sah untuk memberikan sanksi bahkan pencabutan izin operasional.
Adapun 4 poin itu, diantaranya, Perusahaan wajib memiliki gudang tetap dan jelas. Tanpa gudang resmi, perusahaan patut dipertanyakan legalitasnya. Selanjutnya, Perusahaan wajib memiliki petani binaan dan memberikan bantuan modal. Termasuk pemberian pupuk dan sarana produksi lainnya.
Kemudian Perusahaan wajib memiliki Tenaga penyuluh lapangan pertanian (PPL). Dimana, tugasnya untuk mendampingi petani dari proses awal hingga panen.
Trakhir, Perusahaan wajib menyepakati harga jual bersama pemerintah dan petani. Hal ini supaya Harga harus saling menguntungkan, dengan mempertimbangkan biaya produksi petani.
“Kalau perusahaan keluar dari empat poin ini, maka mereka wajib ditekan, bahkan ditutup. Jangan sampai petani terus-menerus dirugikan. Jika pemimpin tidak berani tegas, maka masyarakat berhak mempertanyakan keberpihakan pemerintah,” pungkas Muhrim.
Diakui, Situasi ini menambah panjang deretan persoalan yang dihadapi petani di NTB, terutama di tengah harapan besar terhadap pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto. (Red).