RADARBUMIGORA- Ketua PC IKA PMII Lombok Timur, Muhlis Hasim menilai bahwa Mahasiswa adalah simbol kekuatan moral dan intelektual. Mereka tidak hanya punya pengetahuan, tetapi juga idealisme yang tajam. Lebih dari itu, mahasiswa yang menjadi aktivis memiliki keberanian bersuara, memainkan peran sebagai agen perubahan, berdiri di tengah pusaran kebijakan publik untuk mendukung atau menolak dengan tegas, namun tetap rasional.
Dalam dunia pergerakan, kekuatan utama mahasiswa adalah massa. Senjatanya bukan senapan, melainkan pressing power—daya tekan terhadap penguasa yang sedang alpa atau lupa pada nurani rakyat. Inilah yang kerap membuat pemerintah risau,bukan jumlahnya, tapi dampak opini yang bisa dibangun dari aksi-aksi itu. Sebab dalam dunia politik, citra adalah segalanya.
Demonstrasi sejatinya bukanlah pilihan utama. Ia adalah alternatif terakhir, ketika pintu-pintu dialog telah ditutup, ketika hearing hanya menjadi formalitas, ketika suara-suara dari kampus dianggap angin lalu. Saat pemerintah sudah apatis dan berjalan sendiri, mahasiswa tak tinggal diam. Mereka merancang strategi, mengkaji data, membangun aliansi, melakukan konsolidasi dan satu hal yang pasti tidak pernah ada skenario untuk menciptakan anarki.
Aksi mahasiswa bukan gerakan liar. Ia tertib, terorganisir, bahkan wajib mengajukan izin resmi ke kepolisian. Waktu pun dibatasi, umumnya hanya sampai sebelum maghrib. Larangan aksi malam adalah aturan yang dipatuhi.
Lalu pertanyaannya: jika semua rapi dan terstruktur, dari mana datangnya kekacauan?
Masalah sering muncul di lapangan. Saat massa mulai berkumpul, bukan hanya mahasiswa yang hadir. Ada banyak unsur luar yang ikut menyusup, Pencari keuntungan, baik secara politik maupun materi. Intel, yang menyamar dan bertugas memancing kekacauan agar aparat punya alasan membubarkan aksi. Provokator, yang sengaja dikerahkan untuk menciptakan konflik horizontal antara mahasiswa dan polisi.
Plotting mass, yakni massa liar yang tidak terkonsolidasi. Mereka bisa masyarakat umum, pelajar, atau siapa pun yang datang karena rasa ingin tahu, lalu ikut-ikutan dan memperkeruh suasana.
Di sinilah sering terjadi disinformasi. Ketika botol melayang ke arah aparat, ketika pagar didobrak, ketika bentrokan pecah tiba-tiba tudingan langsung diarahkan ke mahasiswa. Padahal sering kali, bukan mereka pelakunya. Mahasiswa hanya ingin menyuarakan kebenaran, menyampaikan keresahan rakyat yang tidak terdengar dari balik tembok kekuasaan.
Ironisnya, stigma “anarkis” kerap disematkan tanpa analisa. Padahal mahasiswa tidak pernah punya niat merusak. Mereka tidak dibayar, tidak cari keuntungan. Mereka hanya ingin memastikan bahwa negara tidak lupa kepada rakyatnya.
"Maka, mari kita luruskan narasi. Bahwa demonstrasi bukan kejahatan, aktivisme bukan ancaman. Justru dari sinilah demokrasi bisa tetap hidup dan berpihak. Aktivis tidak pernah anarkis. Mereka hanya menolak diam Wallahu a’lam." (Red).