Oleh: Jundu Muhammad Mufakkirul Islami, Karyawan Magang di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah
Di tengah gelombang transformasi pendidikan yang terus bergerak, kualitas kepemimpinan sekolah menjadi titik krusial yang menentukan arah dan keberhasilan pembelajaran. Kepala sekolah tak lagi cukup menjadi manajer administrasi. Ia dituntut menjadi pemimpin pembelajaran, penggerak komunitas guru, pembentuk budaya reflektif, dan agen perubahan di lingkungan sekolah. Namun, tuntutan ini tidak berdiri di ruang hampa. Ia lahir di tengah keterbatasan sumber daya, tantangan digitalisasi, dan kompleksitas kurikulum Merdeka Belajar.
Pertanyaan mendasarnya, dari mana pemimpin sekolah masa depan belajar untuk memimpin? Jawabannya tersembunyi di balik sebuah institusi yang kerap luput dari sorotan publik, yakni Balai Guru dan Tenaga Kependidikan (BGTK).
Dimana, BGTK layaknya Dapur yang Mengolah Kepemimpinan. Di bawah Direktorat Jenderal Guru, Tenaga Kependidikan, dan Pendidikan Guru (Ditjen GTKPG), Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, BGTK berfungsi sebagai “dapur” tempat ditempanya para pemimpin pendidikan Indonesia. Di sinilah berbagai "resep" kepemimpinan diracik: pelatihan berbasis praktik nyata, coaching dan mentoring, hingga penguatan jejaring komunitas belajar. Bukan sekadar menyajikan teori, BGTK meracik pelatihan yang adaptif, kontekstual, dan relevan dengan tantangan lokal.
Layaknya dapur profesional, BGTK bekerja dengan memadukan bahan berkualitas pengalaman lapangan, pengetahuan terkini, dan inovasi pembelajaran untuk menghasilkan pemimpin sekolah yang tidak hanya tahu arah perubahan, tapi mampu menggerakkannya.
Menurutnya, Tiga Pilar utama, Kepala Sekolah, Pengawas, dan BGTK. Kepemimpinan pendidikan kita berpijak pada tiga entitas yang saling melengkapi: kepala sekolah, pengawas, dan BGTK. Kepala sekolah adalah penggerak utama di lapangan. Pengawas menjadi mitra reflektif sekaligus fasilitator profesional. Sementara BGTK berfungsi sebagai ruang pengembangan berkelanjutan bagi keduanya. Ketiganya menciptakan ekosistem pembelajaran yang hidup, reflektif, dan progresif.
Sinergi ini membentuk siklus berkelanjutan: BGTK meningkatkan kapasitas, pengawas mendampingi proses, kepala sekolah mengimplementasikan, lalu praktik baik kembali menjadi bahan pengembangan pelatihan. Ini bukan sekadar pelatihan teknis, melainkan investasi jangka panjang dalam perubahan budaya sekolah.
Salah satu keunggulan BGTK adalah kemampuannya membaca konteks dan merancang pelatihan berbasis kebutuhan nyata. Melalui platform seperti Rumah Pendidikan dan SIMPKB, kebutuhan kompetensi dipetakan dengan cermat. Pelatihan tidak lagi satu arah dan seragam. Kini, pendekatan digital, kolaboratif, dan reflektif menjadi norma. Pembelajaran tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Kepala sekolah dari Papua bisa belajar bersama pengawas dari Aceh, saling bertukar praktik baik, dan membangun jaringan lintas provinsi.
Model ini jauh dari pendekatan konvensional. BGTK mendorong peserta pelatihan untuk tidak sekadar menyerap materi, tetapi menggali solusi dari pengalaman mereka sendiri. Inilah proses yang menumbuhkan pemimpin yang adaptif, empatik, dan siap menghadapi kompleksitas dunia pendidikan hari ini.
Dapur yang Ada di Setiap Daerah. Yang paling menarik, dapur kepemimpinan ini tidak hanya berada di pusat. Balai Guru dan Tenaga Kependidikan daerah, yang tersebar di hampir seluruh provinsi, menjadi ujung tombak implementasi pelatihan yang kontekstual. Ambil contoh BGTK Nusa Tenggara Barat (NTB). Mereka merancang pelatihan yang mengakomodasi keterbatasan akses digital di daerah terpencil, dengan memadukan sesi daring dan luring (blended learning). Pengawas pun dilatih sebagai fasilitator lokal agar pelatihan berlanjut dalam bentuk pendampingan nyata di sekolah.
Contoh lain, BBGTK Sulawesi Selatan, BBGTK Jawa Tengah, hingga BGTK Papua Barat, kini bergerak bukan hanya sebagai pelaksana teknis pelatihan, tetapi sebagai learning hub — pusat kolaborasi dan inovasi pendidikan lokal. Di tempat-tempat ini, praktik baik tidak hanya dibagikan, tetapi juga dikembangkan dan direplikasi.
Dengan pendekatan wilayah yang kontekstual, setiap BGTK memiliki ruang untuk merespons kebutuhan unik daerahnya. Entah itu tantangan geografis, keragaman sosial-budaya, atau keterbatasan infrastruktur. Inilah yang membuat BGTK bukan hanya relevan, tetapi krusial dalam membangun kepemimpinan yang berakar kuat dan berdampak nyata.
Kepemimpinan Bukan Sekadar Teori, Tapi Aksi Nyata. Transformasi pendidikan tidak mungkin tercapai tanpa pemimpin sekolah yang reflektif, inovatif, dan berpihak pada murid. BGTK sebagai dapur kepemimpinan membuktikan bahwa pelatihan yang kontekstual, kolaboratif, dan berbasis praktik nyata mampu menumbuhkan pemimpin semacam itu.
Perubahan tidak terjadi dalam semalam. Tapi seperti halnya hidangan yang lezat, kepemimpinan yang kuat membutuhkan waktu, proses, dan kesungguhan. Hari ini, banyak kepala sekolah yang dulunya pasif kini menjadi motor penggerak inovasi di sekolahnya. Pengawas yang bekerja sendiri kini membentuk jejaring coaching antardaerah. Sekolah-sekolah mulai hidup sebagai komunitas belajar yang sesungguhnya.
Balai Guru dan Tenaga Kependidikan bukan sekadar lembaga pelatihan. Ia adalah dapur perubahan. Di sinilah masa depan pendidikan Indonesia sedang dimasak dengan bahan terbaik, resep yang terus diuji, dan semangat kolaborasi yang tidak pernah padam. (*).