Diduga Banyak Kejanggalan, Kuasa Hukum Ipda Aris Chandra Ajukan PK dan Siapkan Gugatan PTUN

Diduga Banyak Kejanggalan, Kuasa Hukum Ipda Aris Chandra Ajukan PK dan Siapkan Gugatan PTUN

Jumat, 31 Oktober 2025, Oktober 31, 2025

 



RadarBumigora.com, Mataram – Kasus kematian Brigadir M. Nurhadi di Gili Trawangan kembali mencuri perhatian publik. Kuasa hukum terdakwa Ipda I Gede Aris Chandra Widianto menilai terdapat banyak kejanggalan dalam proses hukum yang menjerat kliennya.


Advokat I Gusti Lanang Bratasuta, S.H., M.H., kepada wartawan di Mataram, Jumat (31/10/2025), menyebut penetapan tersangka hingga hasil sidang etik Polri terhadap Aris Chandra sarat dengan pelanggaran prosedur dan kekeliruan hukum.


“Sejak awal kami melihat ada banyak hal yang tidak sesuai prosedur. Bahkan, pasal yang digunakan untuk menangkap dan menahan klien kami Pasal 359 KUHP hilang dari berkas ketika perkara dilimpahkan ke jaksa,” ujar Bratasuta.


Menurutnya, hal itu bukan sekadar persoalan teknis, tetapi berpotensi melanggar hak asasi manusia.


“Orang bisa ditahan karena pasal yang tidak lagi ada di berkas? Ini janggal. Kami akan pertanyakan hal itu secara hukum,” tegasnya.


Selain persoalan pidana, Bratasuta juga menyoroti putusan Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) kepada kliennya.


Ia menilai sidang etik, termasuk proses banding, cacat hukum secara formil karena ketua komisi yang memimpin sidang banding sudah tidak lagi menjabat di posisi semula saat persidangan berlangsung.


“Ketua komisi banding saat itu sudah dimutasi menjadi pejabat di Lemdiklat Polri, tapi tetap memimpin sidang banding di Polda NTB. Ini jelas melanggar aturan formal dan membuat putusan itu tidak sah,” ungkapnya.


Atas dasar itu, pihaknya telah mengajukan peninjauan kembali (PK) kepada Kapolri serta menyiapkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menguji keabsahan keputusan PTDH tersebut.


Bratasuta juga menyesalkan pemberitaan yang menurutnya menggiring opini publik seolah Aris Chandra dan rekan-rekannya berpesta narkoba dan minuman keras sebelum kejadian.


"Hasil tes urine, darah, dan rambut klien kami semuanya negatif. Tapi fakta ini tidak pernah disampaikan ke publik. Yang muncul justru berita seolah mereka berpesta narkoba,” katanya.


Ia menilai penyidik dan pihak etik tidak cermat menilai alat bukti, termasuk tidak melampirkan hasil laboratorium dalam berkas perkara.


"Ini bentuk ketidakadilan yang nyata,” ucapnya.


Dalam sidang perdana di PN Mataram, Senin (27/10), jaksa menuding Aris Chandra ikut melakukan penganiayaan terhadap korban. Namun, menurut kuasa hukum, bukti-bukti menunjukkan hal sebaliknya.


“Klien kami keluar dari vila pukul 20.00 Wita, sedangkan peristiwa tenggelamnya korban baru terjadi sekitar pukul 21.18 Wita. Ada rekaman CCTV yang membuktikan hal itu,” jelas Bratasuta.


Selain itu, rekaman video call antara AKP Rayendra dan korban menggunakan ponsel milik Ipda Aris sebelum kejadian disebut semakin menguatkan bahwa Aris Chandra tidak berada di lokasi peristiwa.


Kuasa hukum berencana menyampaikan eksepsi atau bantahan resmi terhadap dakwaan jaksa pada sidang berikutnya, Senin (3/11/2025).


“Kami menolak dakwaan yang menuduh klien kami melakukan penganiayaan. Banyak fakta yang belum terbuka, dan kami siap membuktikannya di pengadilan,” tegasnya.


Bratasuta berharap media dapat menyajikan informasi secara objektif dan tidak menggiring opini.


“Peran media sangat penting. Kami mohon agar informasi yang disampaikan berimbang, agar publik tidak terjebak dalam opini yang belum tentu benar,” ujarnya.


Ia juga mengingatkan bahwa Ipda Aris Chandra telah mengabdi lebih dari 15 tahun di kepolisian, serta memiliki keluarga yang kini terdampak berat oleh proses hukum yang dijalaninya.


"Klien kami bukan hanya polisi, tapi juga ayah dan kepala keluarga. Kami ingin keadilan ditegakkan tanpa mengorbankan martabat seseorang,”(Red). 


TerPopuler